Tulisan ini di ambil dari kaya Nuruddin Jbr pada catatan facebooknya.
Istriku, aku datang dengan kembang setaman,
ke atas altar pemujaan khusuk munajatmu.
Aku terpana! Sepasang mata berbingkai bulu lentik hitam berkilau di depanku. Akan tatapi sekilas lalu, Serasa kutemukan telaga yang begitu bening, ingin rasanya aku berenang di dalamnya, merasai sejuk kecipak airnya. Begitulah, apa yang selalu aku rasa kala menatap matamu, istriku. Aku selalu kalah jika ingin berlama menahan tatapan, bak api menyerah pasrah pada hujan. Aku seperti tak layak menjadi insan yang begitu leluasa menikmati telaga bening itu. Lalu, aku seperti terjebak pada pusaran yang begitu deras dan siap menenggelamkanku. Sepasang mata itu menyimpan keindahan keteduhan hati sang empunya.
Istriku, betapa aku harus selalu bersyukur bisa memilikimu, merengkuh bahtera hidup bersamamu. Engkau ibarat oase di sahara kegersangan jiwaku. Bak bunga-bunga yang indah mekar di sunyi sabana hidupku. Kau laksana sang rembulan yang merekah jumawa dalam malam gelapku. Dan aku? Akulah anak kecil yang tiba-tiba menyungging senyum ketika dibelikan mainan oleh bundanya. Akulah petani yang memahat tawa kala melihat penennya berlimpah. Akulah nelayan yang riang ketika menjelang senja pulang membawa banyak ikan. Akulah insan yang beruntung bisa menjadi suamimu, istriku.
Istriku, aku datang bersama kuas lengkap dengan tinta aneka rupa,
ke atas kanvas keluasan jiwamu.
Kata-kata pun serasa tak pernah usai untuk melukiskan rasa bahgia ini. Tarian pena tak akan pernah kasip untuk mendendangkan tembang-tembang cinta penuh pendar aneka warna. Lalu, serasa ada bayu yang melambung-buaikan anganku, mengembarakanku pada sebuah taman penuh bunga aneka rupa yang hanya ada bahgia bertahta di sana. Akulah insan yang begitu berbahagia bisa menjadi belahan jiwamu.
Selama ini, dalam pusaran waktu menjalani hari bersamamu, semakin aku merasa bahwa engkaulah anugerah terindah dalam hidupku. Engkau yang dengan sabar menamniku, membimbing langkahku, tanpa jemu mengingatkanku, menyalakan api semangatku, memahami dan meredam gejolak emosi yang seringkali luput dari kendaliku. Ah, sungguh tak tahu dirinya aku jika rasa syukur tak selalu singgah di sanubariku.
Istriku, aku datang membawa kendi penuh isi,
menuju jamban beraroma bunga tujuh rupa.
Istriku, jika malam ini air mataku tumpah, bukan sebab semata aku begitu merindukanmu yang saat ini jauh dari rengkuhku. Tapi lebih pada betapa beruntungnya nasibku bisa merasai meniti hari bersamamu, merengkuh bahtera pernikahan denganmu.
Ah, istriku. Maafkan Jika engkau sering berlinang air mata meratapi keadaan ini, tapi kau begitu tampak sabar dan ikhlas. Aku ibarat kupu-kupu kertas, yang sepintas lalu terlihat kukuh dan berseri, akan tetapi begitu ringkih dan rapuh bila tersentuh, apalagi diterjang deras air hujan. Tidak seperti kau, yang begitu tegar dan sabar. Aku banyak belajar darimu, istriku. Belajar tentang keikhlasan, kesabaran, keyakinan penuh pada kuasa-Nya.
Istriku, aku datang dengan serinai seruling,
ke atas pentas cakrawala penuh legenda.
Ah, istriku. Mengenangmu di sunyi malam seperti ini, ternyata membuatku menyungging senyum. Aku masih begitu ingat istriku, hendak meminangmu, Sungguh, skenario Allah itu begitu indah, tanpa pernah dapat kureka sebelumnya. Tak pernah aku membayangkan dalam hari-hariku sebelumnya, bahwa pada akhirnya aku harus meniti hidup bersamamu.
Sungguh, tak tahukah engkau istriku, serangkum bahgia tak sanggup lagi kuucap dalam kata, kala itu. Entahlah, aku serasa menemukan menara. Ibarat pendaki yang mencapai puncak. Laksana narapidana yang baru saja mendapat putusan bebas. Aku telah menggenapkan separuh dien, dalam naungan indah di jalan-Nya. Itulah, satu fase dalam episode kehidupanku ketika aku bisa merasa menjadi pemenang. Aku serasa tak percaya bisa mendapat kesempatan mewujudkan angan itu.
Istriku, aku datang dengan kembang setaman,
ke atas altar pemujaan khusuk munajatmu.
Malam ini aku ingin datang dalam indah peraduanmu. Hadir dalam mimpi tidurmu, lalu berbagi cerita bersamamu. Mengurai beragam rasa, menyemai sejuta asa. Ahh, ternyata banyak sudah peristiwa terlewati, kenangan indah terukir rapi yang tak cukup berhenti sebagai memori, tetapi akan selalu menjadi inspirasi di kemudian hari.
Istriku, jika penaku menari, bukan sebab aku tak sanggup mengungkapkan semua secara langsung kepadamu. Tapi sebab, seperti kita tahu bahwa rasa bahasa antara tulis dan lisan tentulah berbeda. Sebab, pada kenyataannya banyak hal yang terlewat dari ingat yang tak dapat aku ungkap sebelumnya. Ternyata banyak hal istimewa yang tak aku sadari sebelumnya. Istriku, beribu maaf dariku tulus aku haturkan jika dalam rentang waktu kebersamaan kita aku masih banyak diliputi khilaf. Istriku, aku datang dengan kembang setaman, ke atas altar pemujaan khusuk semedimu. Kembang setaman penuh sesak rangkain kata-kata yang kesemuanya bermuara pada sebuah kalimat indah yang ingin kuhadiahkan padamu sebagai satu lagi tanda cintaku padamu. Aku teramat mencintaimu karena dengan mencintaimu aku semakin menjadi lebih mencintai-Nya.
Istriku, aku datang dengan kembang setaman,
ke atas altar pemujaan khusuk munajatmu.
Aku terpana! Sepasang mata berbingkai bulu lentik hitam berkilau di depanku. Akan tatapi sekilas lalu, Serasa kutemukan telaga yang begitu bening, ingin rasanya aku berenang di dalamnya, merasai sejuk kecipak airnya. Begitulah, apa yang selalu aku rasa kala menatap matamu, istriku. Aku selalu kalah jika ingin berlama menahan tatapan, bak api menyerah pasrah pada hujan. Aku seperti tak layak menjadi insan yang begitu leluasa menikmati telaga bening itu. Lalu, aku seperti terjebak pada pusaran yang begitu deras dan siap menenggelamkanku. Sepasang mata itu menyimpan keindahan keteduhan hati sang empunya.
Istriku, betapa aku harus selalu bersyukur bisa memilikimu, merengkuh bahtera hidup bersamamu. Engkau ibarat oase di sahara kegersangan jiwaku. Bak bunga-bunga yang indah mekar di sunyi sabana hidupku. Kau laksana sang rembulan yang merekah jumawa dalam malam gelapku. Dan aku? Akulah anak kecil yang tiba-tiba menyungging senyum ketika dibelikan mainan oleh bundanya. Akulah petani yang memahat tawa kala melihat penennya berlimpah. Akulah nelayan yang riang ketika menjelang senja pulang membawa banyak ikan. Akulah insan yang beruntung bisa menjadi suamimu, istriku.
Istriku, aku datang bersama kuas lengkap dengan tinta aneka rupa,
ke atas kanvas keluasan jiwamu.
Kata-kata pun serasa tak pernah usai untuk melukiskan rasa bahgia ini. Tarian pena tak akan pernah kasip untuk mendendangkan tembang-tembang cinta penuh pendar aneka warna. Lalu, serasa ada bayu yang melambung-buaikan anganku, mengembarakanku pada sebuah taman penuh bunga aneka rupa yang hanya ada bahgia bertahta di sana. Akulah insan yang begitu berbahagia bisa menjadi belahan jiwamu.
Selama ini, dalam pusaran waktu menjalani hari bersamamu, semakin aku merasa bahwa engkaulah anugerah terindah dalam hidupku. Engkau yang dengan sabar menamniku, membimbing langkahku, tanpa jemu mengingatkanku, menyalakan api semangatku, memahami dan meredam gejolak emosi yang seringkali luput dari kendaliku. Ah, sungguh tak tahu dirinya aku jika rasa syukur tak selalu singgah di sanubariku.
Istriku, aku datang membawa kendi penuh isi,
menuju jamban beraroma bunga tujuh rupa.
Istriku, jika malam ini air mataku tumpah, bukan sebab semata aku begitu merindukanmu yang saat ini jauh dari rengkuhku. Tapi lebih pada betapa beruntungnya nasibku bisa merasai meniti hari bersamamu, merengkuh bahtera pernikahan denganmu.
Ah, istriku. Maafkan Jika engkau sering berlinang air mata meratapi keadaan ini, tapi kau begitu tampak sabar dan ikhlas. Aku ibarat kupu-kupu kertas, yang sepintas lalu terlihat kukuh dan berseri, akan tetapi begitu ringkih dan rapuh bila tersentuh, apalagi diterjang deras air hujan. Tidak seperti kau, yang begitu tegar dan sabar. Aku banyak belajar darimu, istriku. Belajar tentang keikhlasan, kesabaran, keyakinan penuh pada kuasa-Nya.
Istriku, aku datang dengan serinai seruling,
ke atas pentas cakrawala penuh legenda.
Ah, istriku. Mengenangmu di sunyi malam seperti ini, ternyata membuatku menyungging senyum. Aku masih begitu ingat istriku, hendak meminangmu, Sungguh, skenario Allah itu begitu indah, tanpa pernah dapat kureka sebelumnya. Tak pernah aku membayangkan dalam hari-hariku sebelumnya, bahwa pada akhirnya aku harus meniti hidup bersamamu.
Sungguh, tak tahukah engkau istriku, serangkum bahgia tak sanggup lagi kuucap dalam kata, kala itu. Entahlah, aku serasa menemukan menara. Ibarat pendaki yang mencapai puncak. Laksana narapidana yang baru saja mendapat putusan bebas. Aku telah menggenapkan separuh dien, dalam naungan indah di jalan-Nya. Itulah, satu fase dalam episode kehidupanku ketika aku bisa merasa menjadi pemenang. Aku serasa tak percaya bisa mendapat kesempatan mewujudkan angan itu.
Istriku, aku datang dengan kembang setaman,
ke atas altar pemujaan khusuk munajatmu.
Malam ini aku ingin datang dalam indah peraduanmu. Hadir dalam mimpi tidurmu, lalu berbagi cerita bersamamu. Mengurai beragam rasa, menyemai sejuta asa. Ahh, ternyata banyak sudah peristiwa terlewati, kenangan indah terukir rapi yang tak cukup berhenti sebagai memori, tetapi akan selalu menjadi inspirasi di kemudian hari.
Istriku, jika penaku menari, bukan sebab aku tak sanggup mengungkapkan semua secara langsung kepadamu. Tapi sebab, seperti kita tahu bahwa rasa bahasa antara tulis dan lisan tentulah berbeda. Sebab, pada kenyataannya banyak hal yang terlewat dari ingat yang tak dapat aku ungkap sebelumnya. Ternyata banyak hal istimewa yang tak aku sadari sebelumnya. Istriku, beribu maaf dariku tulus aku haturkan jika dalam rentang waktu kebersamaan kita aku masih banyak diliputi khilaf. Istriku, aku datang dengan kembang setaman, ke atas altar pemujaan khusuk semedimu. Kembang setaman penuh sesak rangkain kata-kata yang kesemuanya bermuara pada sebuah kalimat indah yang ingin kuhadiahkan padamu sebagai satu lagi tanda cintaku padamu. Aku teramat mencintaimu karena dengan mencintaimu aku semakin menjadi lebih mencintai-Nya.